Senin, 06 November 2017

MENERAPKAN POLA ASUH KONSISTEN PADA ANAK AUTIS

RESUME (PENDIDIKAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS)
“MENERAPKAN POLA ASUH KONSISTEN PADA ANAK AUTIS”
Penulis: Rina Mirza
Praktisi dan Dosen Psikologi

PENDAHULUAN
Jumlah anak autis semakin hari semakin bertambah namun masyarakat belum mengenal betul mengenai autis, masyarakat menganggap bahwa autis adalah anak yang asik dengan duniannya sendiri sehingga memperlakukannya dengan salah. Dalam DSM IV-TR (APA, 2000) dikatakan bahwa autisme merupakan keabnormalan yang jelas dan gangguan perkembangan dalam interaksi sosial, komunikasi, keterbatasan yang jelas dalam aktivitas dan ketertarikan. Manifestasi dari gangguan ini berganti-ganti tergantung pada tingkat perkembangan dan usia kronologis dari individu. Gejala-gejala ini biasanya muncul sebelum usia anak mencapai tiga tahun dan pada sebahagian anak gejalanya sudah terlihat sejak lahir. Beberapa anak penderita autisme sempat berkembang normal namun sebelum usia tiga tahun perkembangan menjadi terhenti kemudian muncul kemunduran dan mulai terlihat gejala autisme. Terapi yang dilakukan kepada anak autis akan membutuhakan waktu yang lama dan setiap anak membutuhkan terapi yang berbeda-beda sesuai kebutuhan anak. Penanganan terapi pada anak autis harus dilakukan secara intensif, terpadu dan konsisten. Selain itu keluarga harus terlibat secara aktif untuk memacu komunikasi dengan anak dan konsisten dalam melakukan terapi.
LANDASAN TEORI
A. Autisme
A. 1. Pengertian Autisme
Kanner (dalam Wenar, 2006) menyatakan bahwa autisme adalah salah satu gangguan perkembangan pervasif ini diakibatkan oleh tiga hal utama, pertama, pengasingan yang ekstrim (extreme isolative); kedua, kebutuhan patologis akan kesamaan; ketiga, cara berbicara yang tidak komunikatif termasuk ekolalia dan kalimat-kalimat yang tidak sesuai dengan situasi.
Ada tiga karakter yang menunjukkan seseorang menderita autis, yakni social interaction yaitu kesulitan dalam melakukan hubungan sosial, kemudian social communication yaitu kesulitan dengan kemampuan komunikasi secara verbal dan non
verbal, yang terakhir imagination yaitu kesulitan untuk mengembangkan permainan dan imajinasinya (Rachmawati, 2012).

A. 2. Gejala/Kriteria Diagnostik Autisme
Purwati (2007) anak autisme memiliki masalah ataupun gangguan dalam beberapa bidang, diantaranya:
1. Komunikasi
a. Perkembangan bahasa lambat atau sama sekali tidak ada
b. Anak tampak seperti tuli, sulit berbicara atau pernah berbicara tapi kemudian sirna
c. Terkadang kata-kata yang digunakan tidak sesuai artinya
d. Mengoceh tanpa arti berulang-ulang dengan bahasa yang tidak dapat dimengerti orang lain
e. Bicara tidak dipakai untuk alat komunikasi
f. Senang meniru atau membeo (echolalia)
g. Bila senang, meniru/hafal benar kata-kata atau nyanyian tersebut tanpa mengerti artinya
h. Sebahagian dari anak tidak berbicara (non-verbal) atau sedikit berbicara sampai usia dewasa
i. Senang menarik-narik tangan orang lain untuk melakukan apa yang ia inginkan (misalnya bila mengiinginkan/meminta sesuatu)
2. Interaksi sosial
a. Lebih suka menyendiri
b. Sedikit atau bahkan tidak ada kontak mata, menghindar untuk bertatapan
c. Tidak tertarik untuk bermain bersama teman
d. Apabila diajak bermain ia tidak mau dan menjauh.
3. Gangguan sensoris
a. Sangat sensitif terhadap sentuhan, seperti tidak suka dipeluk
b. Apabila mendengar suara yang keras langsung menutup telinga
c. Senang mencium-cium, menjilat mainan atau benda-benda
d. Tidak sensitif terhadap rasa sakit dan rasa takut
4. Pola bermain
a. Tidak bermain seperti anak-anak pada umumnya
b. Tidak suka bermain dengan anak-anak sebayanya
c. Tidak kreatif dan imajinatif
d. Tidak bermain sesuai fungsi mainan, misalnya sepeda dibalik lalu rodanya diputar-putar
e. Senang akan benda-benda yang berputar, seperti kipas angin dan roda sepeda
f. Dapat sangat lekat dengan benda-benda tertentu yang dipegang terus dan dibawa kemana-mana
5. Perilaku
a. Dapat berperilaku berlebihan (hiperaktif) atau kekurangan (hipoaktif)
b. Memperlihatkan perilaku stimulasi diri seperti bergoyang-goyang, mengepakkan tangan seperti burung, berputar-putar, mendekatkan mata ke TV, lari atau berjalan bolak-balik dan melakukan gerakan berulang-ulang
c. Tidak suka pada perubahan
d. Terkadang duduk dengan tatapan kosong
6. Emosi
a. Sering marah-marah, tertawa dan menangis tanpa alasan yang jelas
b. Temper tantrum jika dilarang atau tidak diberikan keinginannya
c. Terkadang suka menyerang dan merusak
d. Terkadang anak berperilaku menyakiti dirinya sendiri
e. Tidak mempunyai empati dan tidak mengerti perasaan orang lain.

Gejala-gejala tersebut tidak harus ada pada setiap anak dengan autisme. Pada anak dengan autisme berat mungkin hampir semua gejala diatas ada, namun pada kelompok anak yang tergolong autisme ringan hanya terdapat sebahagian saja dari gejala tersebut.

A. 3. Penyebab Autisme
Acocella (1996) menyebutkan bahwa ada tiga perspektif yang bisa digunakan untuk menjelaskan faktor-faktor penyebab autisme, yaitu:
1. Perspektif psikodinamika, menurut Bettelheim (dalam Acocella, 1996) penyebab dari autisme karena adanya penolakan yang dilakukan orang tua terhadap anaknya.
2. Perspektif biologis, meliputi penelitian genetik, penelitian tentang kromosom, penelitian biokimia, gangguan bawaan dan komplikasi kelahiran, penelitian neurological.
3. Perspektif kognitif, teori-teori yang ada dalam perspektif ini adalah bahwa gangguan pada anak autisme disebabkan karena adanya masalah dalam mengatur dan menyatukan input terhadap alat perasa. Lovaas (dalam Acocella, 1996) mengatakan bahwa anak autisme sangat overselektif dalam memperhatikan sesuatu. Anak autisme hanya dapat memproses dan merespon satu stimulus dalam satu waktu, hal ini disebabkan karena adanya gangguan perspetual.

A. 4. Terapi Untuk Anak Autisme
Gangguan autisme adalah suatu gangguan proses perkembangan, sehingga terapi jenis apapun yang dilakukan akan memerlukan waktu yang lama. Selain itu terapi harus dilakukan secara terpadu dan setiap anak membutuhkan jenis terapi yang berbeda. Penanganan terapi pada anak autisme harus dilakukan dengan intensif dan terpadu. Selain itu seluruh keluarga harus terlibat untuk memacu komunikasi dengan anak. Beberapa terapi untuk anak autis antara lain adalah (Yayasan Autisma Indonesia, 2007):
1. Applied Behavioral Analysis (ABA), sistem yang dipakai adalah memberi pelatihan khusus pada anak dengan memberikan positive reinforcement (hadiah/pujian) setiap kali anak berespon benar sesuai instruksi yang diberikan, namun tidak ada hukuman apabila anak memberi respon negatif atau kurang tepat.
2. Terapi Wicara, hampir semua anak dengan autisme mempunyai kesulitan dalam bicara dan berbahasa. Biasanya hal inilah yang paling menonjol, banyak pula individu autistic yang non-verbal atau kemampuan bicaranya sangat kurang. Terkadang bicaranya cukup berkembang, namun mereka tidak mampu untuk memakai bicaranya untuk berkomunikasi/berinteraksi dengan orang lain. Dalam hal ini terapi wicara dan berbahasa akan sangat menolong.
3. Terapi Okupasi, hampir semua anak autistik mempunyai keterlambatan dalam perkembangan motorik halus. Gerak-geriknya kaku dan kasar, mereka kesulitan untuk memegang pinsil dengan cara yang benar, kesulitan untuk memegang sendok dan menyuap makanan kemulutnya, dan lain sebagainya. Dalam hal ini terapi okupasi sangat penting untuk melatih mempergunakan otot-otot halusnya dengan benar.
4. Terapi Fisik, banyak diantara individu autistik mempunyai gangguan perkembangan dalam motorik kasarnya. Terkadang tonus ototnya lembek sehingga jalannya kurang kuat. Keseimbangan tubuhnya kurang bagus. Fisioterapi dan terapi integrasi sensoris akan sangat banyak menolong untuk menguatkan otot-ototnya dan memperbaiki keseimbangan tubuhnya.
5. Terapi Sosial, kekurangan yang paling mendasar bagi individu autisme adalah dalam bidang komunikasi dan interaksi. Banyak anak-anak ini membutuhkan pertolongan dalam keterampilan berkomunikasi 2 arah, membuat teman dan main bersama ditempat bermain. Seorang terapis sosial membantu dengan memberikan fasilitas pada mereka untuk bergaul dengan teman-teman sebaya dan mengajari cara-caranya.
6. Terapi Bermain, seorang anak autistik membutuhkan pertolongan dalam belajar bermain. Bermain dengan teman sebaya berguna untuk belajar bicara, komunikasi dan interaksi sosial. Seorang terapis bermain bisa membantu anak dalam hal ini dengan teknik-teknik tertentu.
7. Terapi Perilaku, anak autistik seringkali merasa frustrasi. Teman-temannya seringkali tidak memahami mereka, mereka merasa sulit mengekspresikan kebutuhannya, Mereka banyak yang hipersensitif terhadap suara, cahaya dan sentuhan. Tak heran bila mereka sering mengamuk. Seorang terapis perilaku terlatih untuk mencari latar belakang dari perilaku negatif tersebut dan mencari solusinya dengan merekomendasikan perubahan lingkungan dan rutin anak tersebut untuk memperbaiki perilakunya.
8. Terapi Perkembangan, anak dipelajari minatnya, kekuatannya dan tingkat perkembangannya, kemudian ditingkatkan kemampuan sosial, emosional dan intelektualnya. Terapi perkembangan berbeda dengan terapi perilaku seperti ABA yang lebih mengajarkan keterampilan yang lebih spesifik. Son- rise program ini berdasarkan pada sikap menerima dan mencintai tanpa syarat pada anak-anak autistik. Diciptakan oleh orangtua yang anaknya didiagnosa menderita autisme tetapi karena program latihan dan stimulasi yang intensif dari orangtua, anak dapat berkembang tanpa tampak adanya tanda-tanda autistik.
9. Terapi Visual, anak autistik lebih mudah belajar dengan melihat (visual learners/visual thinkers). Hal inilah yang kemudian dipakai untuk mengembangkan metode belajar komunikasi melalui gambar-gambar, misalnya dengan metode PECS (Picture Exchange Communication System). Beberapa video games bisa juga dipakai untuk mengembangkan keterampilan komunikasi. Strategi Visual dipilih agar anak lebih mudah memahami berbagai hal yang ingin disampaikan. Biasanya, anak akan diperkenalkan pada berbagai aktivitas keseharian, larangan-aturan, jadwal dan sebagainya lewat gambar-gambar.
10. Terapi Biomedik, anak-anak ini diperiksa secara intensif, pemeriksaan darah, urin, feses dan rambut, juga pemeriksaan colonoscopy dilakukan bila ada indikasi. Semua hal abnormal yang ditemukan dibereskan, sehingga otak menjadi bersih dari gangguan.
11. Terapi Sensory Integration, terapi untuk memperbaiki cara otak menerima, mengatur, dan memproses semua input sensoris yang diterima oleh panca indera, indera keseimbangan dan indera otot.
12. Terapi Medikamentosa, pemberian obat pada anak harus didasarkan pada diagnosis yang tepat, pemakaian obat yang tepat, pemantauan ketat terhadap efek samping dan mengenali cara kerja obat. Perlu diingat bahwa setiap anak memiliki ketahanan yang berbeda-beda terhadap efek obat, dosis obat dan efek samping.
13. Alternatif terapi lainnya, ada beberapa terapi lainnya yang menjadi alternatif penanganan penyandang autis yaitu : terapi musik, program fasilitas komunikasi, terapi vitamin dan diet khusus yang disesuaikan dengan cerebal alergies yang diderita penyandang autis.

B. Pola Asuh Orang Tua
B. 1. Pengertia Pola Asuh Orang Tua
Pola asuh adalah suatu cara terbaik yang dapat ditempuh orang tua dalam mendidik
anak-anaknya sebagai perwujudan dari rasa tanggung jawab kepada anak-anaknya (Mansur, 2011). Menurut Levine (2003), Pola asuh orang tua adalah pola perilaku yang diterapkan orangtua pada anaknya dan bersifat relatif konsisten dari waktu kewaktu. Pola perilaku ini dapat dirasakan oleh anak, baik dari segi negatif maupun dari segi positif. Sujiono (2003) menambahkan pengertian pola asuh orang tua adalah sebagai pola perilaku yang diterapkan pada anak dan bersifat relatif konsisten dari waktu kewaktu. Pola perilaku ini dapat dirasakan oleh anak, dari segi negatif maupun dari segi positif.

B. 2. Jenis-jenis Pola Asuh Orang Tua
Mendidik anak dalam keluarga diharapkan agarkepribadian anak mampu berkembang, menjadi manusia yang memiliki sikap yang positif, mandiri dan memiliki potensi untuk berkembang secara optimal. Untuk menerapkan ini, berbagai cara dilakukan orang tua termasuk didalamnya menerapkan pola asuh yang tepat. Menurut Baumrind (1967, dalam pustaka online, 2008), terdapat 3 macam pola asuh orang tua yakni:
1. Pola Asuh Permisif, pola asuh permisif adalah jenis pola mengasuh anak yang cuek terhadap anak. Jadi apa pun yang mau dilakukan anak diperbolehkan, biasanya pola pengasuhan anak oleh orangtua semacam ini diakibatkan oleh orangtua yang terlalu sibuk dengan pekerjaan, kesibukan atau urusan lain yang akhirnya lupa untuk mendidik dan mengasuh anak dengan baik. Anak yang diasuh orangtuanya dengan metode semacam ini nantinya bisa berkembang menjadi anak yang kurang perhatian, merasa tidak berarti, rendah diri, nakal, memiliki kemampuan sosialisasi yang buruk, kontrol diri buruk, salah bergaul, kurang menghargai orang lain, dan lain sebagainya baik ketika kecil maupun sudah dewasa.
2. Pola Asuh Otoriter, pola pengasuhan anak yang bersifat pemaksaan, keras dan kaku di mana orangtua akan membuat berbagai aturan yang harus dipatuhi oleh anak-anaknya tanpa mau tahu perasaan sang anak. Hukuman mental dan fisik akan sering diterima oleh anak-anak dengan alasan agar anak terus tetap patuh dan disiplin serta menghormati orang-tua yang telah membesarkannya. Anak yang besar dengan teknik asuhan anak seperti ini biasanya tidak bahagia, paranoid / selalu berada dalam ketakutan, mudah sedih dan tertekan, senang berada di luar rumah, benci orangtua, dan lain-lain. Namun di balik itu biasanya anak hasil didikan ortu otoriter lebih bisa mandiri, bisa menjadi orang sesuai keinginan orang tua, lebih disiplin dan lebih bertanggungjawab dalam menjalani hidup.
3. Pola Asuh Demokratif, pola asuh orangtua pada anak yang memberi kebebasan pada anak untuk berkreasi dan mengeksplorasi berbagai hal sesuai dengan kemampuan anak dengan sensor batasan dan pengawasan yang baik dari orangtua. Pola asuh ini adalah pola asuh yang cocok dan baik untuk diterapkan para orangtua kepada anak-anaknya. Anak yang diasuh dengan tehnik asuhan demokratif akan hidup ceria, menyenangkan, kreatif, cerdas, percaya diri, terbuka pada orangtua, menghargai dan menghormati orangtua, tidak mudah stres dan depresi, berprestasi baik, disukai lingkungan dan masyarakat dan lain-lain. Pola asuh demokratis adalah pola asuh yang memprioritaskan kepentingan anak, akan tetapi tidak ragu-ragu mengendalikan mereka.
B. 3. Pola Asuh Yang Konsisten
Hal paling berguna dalam mendidik anak adalah kasih sayang, rasa antusias, rasa humor, kesabaran, keberanian bersikap tegas tepat pada waktunya dan konsisten. Menurut Ginanjar (2010) yang dikatakan dengan pola asuh yang konsisten adalah menerapkan pola asuh dengan aturan yang jelas dan fleksibel serta adanya kesepakatan diantara keluarga di rumah. Jika ada konsekuensi, beritahu dan disepakati sejak awal. Hal ini akan membantu mendorong anak untuk mandiri, terutama berkaitan dengan merawat diri sendiri. Artinya bahwa, orangtua bisa memilih pola asuh apa yang ingin mereka terapkan dalam mendidik anaknya. Namun yang harus dicermati adalah pelaksanaan dari pemberian pola asuh tersebut haruslah konsisten dan bertujuan.
Dikdasmen Depdiknas (2004) menambahkan bahwa dalam pelaksanaan pendidikan dan terapi perilaku bagi anak autistik, prinsip konsistensi mutlak diperlukan. Artinya: apabila anak berperilaku positif memberi respon positif terhadap suatu stimulan (rangsangan), maka guru pembimbing harus cepat memberikan respon positif (reward/penguatan), begitu pula apabila anak berperilaku negatif (Reinforcement).
Konsisten memiliki arti "Tetap", bila diartikan secara bebas konsisten mencakup tetap dalam berbagai hal, ruang, dan waktu. Konsisten bagi guru pembimbing berarti; tetap dalam bersikap, merespon dan memperlakukan anak sesuai dengan karakter dan kemampuan yang dimiliki masing-masing individu anak autistik. Sedangkan arti konsisten bagi anak adalah tetap dalam mempertahankan dan menguasai kemampuan sesuai dengan stimulan yang muncul dalam ruang dan waktu yang berbeda. Orang tua pun dituntut konsisten dalam pendidikan bagi anaknya, yakni dengan bersikap dan memberikan perlakukan terhadap anak sesuai dengan program pendidikan yang telah disusun bersama antara pembimbing dan orang tua sebagai wujud dari generalisasi pembelajaran di sekolah dan dirumah.
B. 4. Pola Asuh Untuk Anak Autis
Dikdasmen Depdiknas (2004) menjelaskan beberapa prinsip-prinsip pola asuh dalam hal pendidikan dan pengajaran bagi anak autis dilaksanakan dengan cara sebagai berikut:
1. Terstruktur, pendidikan dan pengajaran bagi anak autistik diterapkan prinsip terstruktur, artinya dalam pendidikan atau pemberian materi pengajaran dimulai dari bahan ajar/materi yang paling mudah dan dapat dilakukan oleh anak. Setelah kemampuan tersebut dikuasai, ditingkatkan lagi ke bahan ajar yang setingkat diatasnya namun merupakan rangkaian yang tidak terpisah dari materi sebelumnya.
2. Terpola, kegiatan anak autistik biasanya terbentuk dari rutinitas yang terpola dan terjadwal, baik di sekolah maupun di rumah (lingkungannya), mulai dari bangun tidur sampai tidur kembali. Oleh karena itu dalam pendidikannya harus dikondisikan atau dibiasakan dengan pola yang teratur. Namun, bagi anak dengan kemampuan kognitif yang telah berkembang, dapat dilatih dengan memakai jadwal yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi lingkungannya, supaya anak dapat menerima perubahan dari rutinitas yang berlaku (menjadi lebih fleksibel). Diharapkan pada akhirnya anak lebih mudah menerima perubahan, mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan (adaptif) dan dapat berperilaku secara wajar (sesuai dengan tujuan behavior therapy).
3. Terprogram, prinsip dasar terprogram berguna untuk memberi arahan dari tujuan yang ingin dicapai dan memudahkan dalam melakukan evaluasi. Prinsip ini berkaitan erat dengan prinsip dasar sebelumnya. Sebab dalam program materi pendidikan harus dilakukan secara bertahap dan berdasarkan pada kemampuan anak, sehingga apabila target program pertama tersebut menjadi dasar target program yang kedua, demikian pula selanjutnya.
4. Konsisten, dalam pelaksanaan pendidikan dan terapi perilaku bagi anak autistik, prinsip konsistensi mutlak diperlukan. Artinya : apabila anak berperilaku positif memberi respon positif terhadap susatu stimulan (rangsangan), maka guru pembimbing harus cepat memberikan respon positif (reward/penguatan), begitu pula apabila anak berperilaku negatif (Reniforcement).
5. Kontinyu, prinsip pendidikan dan pengajaran yang berkesinambungan juga mutlak diperlukan bagi anak autistik. Kontinyu disini meliputi kesinambungan antara prinsip dasar pengajaran, program pendidikan dan pelaksanaannya. Kontinyuitas dalam pelaksanaan pendidikan tidak hanya di sekolah, tetapi juga harus ditindaklanjuti untuk kegiatan dirumah dan lingkungan sekitar anak.
Kesimpulannya, terapi perilaku dan pendidikan bagi anak autistik harus dilaksanakan secara berkesinambungan, simultan dan integral (menyeluruh dan terpadu).


Sumber : http://moraref.or.id/record/view/56520